Selalu ada kesulitan dalam setiap kesempatan, dan selalu ada kesempatan dalam setiap kesulitan.
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Q.S. al-Insyirah : 6)

Saturday, March 23, 2013

PROFESI GURU DAN EKSISTENSINYA DI ERA GLOBALISASI


Arus globalisasi saat ini menimbulkan banyak sekali perubahan dari segala aspek kehidupan manusia. Perubahan ini tidak dapat dihindari karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Menghadapi pesatnya persaingan di era global ini, Tuntutan akan sumber daya manusia yang unggul merupakan kebutuhan umat manusia di seluruh belahan dunia. Menjelang diberlakukannya liberalisasi di segala bidang dewasa ini, tuntutan tersebut sangatlah mendesak. Pendidikan berperan sebagai gerbang utama untuk memenuhi semua tuntutan itu, semua pihak perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu pendidikan, baik pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun meningkatkan prestasi yang telah diraih. Sering kali potensi seseorang itu diukur melalui pendidikannya, sebagai salah satu elemen terpenting dalam penyelenggaraan pendidikan, pendidik (guru) menjadi sosok yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik”

Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pengajaran masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran belum dapat digantikan oleh mesin radio, tape recorder ataupun komputer yang paling modern sekalipun. Karena masih banyak unsur manusiawinya seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-alat atau teknologi yang diciptakan manusia untuk membantu dan mempermudah kehidupannya.[1] Sehingga faktor guru perlu mendapat perhatian yang pertama dan utama di samping kurikulumnya, karena baik buruknya suatu kurikulum pada akhirnya tergantung pada aktivitas dan kreativitas guru dalam menjabarkan dan merealisasikan kurikulum tersebut.[2] 
Sejatinya, guru adalah bagian integral dari organisasi pendidikan di sekolah secara menyeluruh. Agar sebuah organisasi termasuk organisasi pendidikan di sekolah  mampu menghadapi perubahan dan ketidakpastian yang menjadi ciri kehidupan modern, Peter Senge (2000) mengingatkan perlunya mengembangkan sekolah sebagai sebuah organisasi pembelajar. Di antara karakter utama organisasi pembelajar adalah senantiasa mencermati perubahan internal dan eksternal yang diikuti dengan upaya penyesuaian diri dalam rangka mempertahankan eksistensinya.[3] 
Syarat mutlak terciptanya organisasi pembelajar adalah terwujudnya masyarakat pembelajar di tubuh organisasi tersebut. Ini dapat dengan mudah dipahami mengingat kinerja organisasi secara tidak langsung adalah produk kinerja kolektif semua unsurnya termasuk Sumber Daya Manusia. Oleh sebab itu, dalam konteks sekolah, guru secara individu maupun secara bersamasama dengan masyarakat seprofesinya harus didorong untuk menjadi bagian dari organisasi pembelajar melalui keterlibatannya secara sadar dan sukarela serta terus menerus dalam berbagai kegiatan belajar guna mengembangkan profesionalismenya. 
Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan sosio-kultural yang terkadang sulit diprediksi, profesi guru terkadang dihadapkan pada dilema yang kompleks. Di satu sisi, masyarakat pengguna jasa pendidikan menuntut akan kualitas layanan jasa pendidikan secara lebih baik, tetapi di pihak lain para penyandang profesi kependidikan dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Bahkan secara individual mereka dihadapkan pula pada suatu realitas bahwa kesejahteraannya perlu mendapat perhatian khusus. Imbalan jasa kependidikan yang kurang sesuai menurut ukuran kebutuhan hidup realistis masih menjadi topik diskusi keseharian masyarakat. Padahal masyarakat yakin betul bahwa kelangsungan hidup bangsa ini akan sangat ditentukan oleh keberhasilan proses sistem pendidikan.
Profesi guru bertahun-tahun mengalami degradasi kualitas dan citra. Minimnya penghargaan terhadap guru membuat siswa-siswa tidak banyak tertarik menjadi guru. Siswa-siswi yang berprestasi cenderung memilih jurusan populer yang menjanjikan seperti: teknik, kedokteran, hukum, atau ekonomi. Profil guru jauh dari sejahtera. Sesuai  seperti digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagu "Umar Bakri"-nya. Dengan gaji kecil, seorang guru terbiasa bergelut dengan waktu mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Jadi, Adalah lumrah bila seorang guru kerja sampingan sebagai tukang ojek, menjadi supir, atau menjadi juru parkir. Karena beban kebutuhan hidup tinggi, guru pun banyak menyekolahkan SK-nya. Dalam kondisi ini memaksa guru mencari tambahan dengan memberikan les di sekolah dan menjual buku pelajaran. Sebagai kepanjangan tangan pihak penerbit, buku dijual dengan nuansa pemaksaan dan ancaman kepada siswa demi meraih target tertentu, menjadikan guru "bulan-bulanan' kegundahan masyarakat.
Kemudian di lain pihak, kondisi faktual di lapangan, profesi guru banyak dijadikan dermaga alternatif bagi mereka dalam tahap menunggu atau gagal mendapatkan pekerjaan yang layak di tempat lain. Seseorang begitu mudahnya menjadi guru, meskipun tanpa bekal ilmu keguruan yang memadai. Akibatnya ada oknum guru diberitakan terlibat dalam kekerasan, minuman keras, narkoba atau tersangkut perbuatan asusila.[4]
Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen merupakan babak baru sekaligus momentum untuk mengangkat harkat dan martabat guru. Sebagai pekerjaan profesi, guru harus melalui sejumlah persyaratan pendidikan dan pelatihan profesi ilmu keguruan yang panjang sehingga mendapatkan kewenangan profesional sebagai guru. Profesi guru ke depan tidak lagi asal-asalan, tapi menuntut sejumlah kompetensi meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Seorang guru harus mencurahkan jiwanya, memiliki kecintaan akan profesinya dan dicerminkan dari penampilan, dedikasi, pengabdian dan tanggung jawab sebagai guru.
Penjelasan di atas merupakan  permasalahan yang sesungguhnya akan terasa amat sulit jika dihadapi secara individual. Artinya, kalangan profesional kependidikan dipandang perlu untuk membentuk suatu organisasi profesi dan masuk di dalamnya sebagai anggota. Melalui fungsi pemersatu organisasi ini, penyandang profesi kependidikan memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam menjalankan tugas keprofesiannya. Bukan hanya itu, suatu organisasi kependidikan berupaya meningkatkan dan mengembangkan karier, kemampuan, kewenangan profesional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan.
Organisasi profesi diharapkan menjadi jembatan komunikasi yang menampung aspirasi, memelihara citra, mengembangkan profesionalisme guru dan wadah perjuangan guru mendapatkan segala haknya.
Dengan adanya organisasi profesi, setiap anggota mendapat perlindungan dalam mewujudkan profesionalitasnya secara terarah dan efektif dalam suasana aman dan kondusif. Bergabungnya guru dalam wadah organisasi profesi merupakan wujud terpenuhinya persyaratan sebagai pemangku profesi jabatan guru sehingga guru mendapatkan jaminan untuk berkinerja secara optimal. Organisasi profesi dibekali kode etik sebagai standar ideal dijadikan rujukan guru dalam berperilaku sesuai dengan perkembangan masyarakat untuk dipenuhi anggotanya serta dipertanggungjawabkan kembali kepada masyarakat.



[1] Nana Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, cet.4, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1998), hlm. 12.
[2]  Mulyasa. E, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan Implementasi,  (Bandung:  Rosda Karya, 2002), hlm. 147.

[3]  Kementerian pendidikan nasional Direktorat jenderal peningkatan mutu Pendidik dan tenaga kependidikan
2010. Pembinaan Dan Pengembangan Profesi Guru Buku pedoman pengelolaan Pengembangan keprofesian berkelanjutan. www.bermutuprofesi.org

No comments: