PENDEKATAN FILOLOGI DALAM KAJIAN ISLAM
Arus globalisasi dan modernisasi seiring dengan dengan berjalannya
waktu semakin gencar dan pengaruhnya pun sudah sangat nyata bisa kita rasakan
hari ini. Keterbukaan informasi dunia lebih banyak memberi dampak sosial dan
budaya dalam tatanan masyarakat. Dampak tersebut, Diantara, semakin tidak jelas
acuan nilai yang dipakai, semakin relatifnya standar kepuasan individu, bahkan individu
semakin sulit terpuaskan (perfeksionis),
kecenderungan konsumsi yang tidak disertai pemahaman fungsional sehingga
terjadi kesenjangan antara budaya fisik dengan nilai-nilainya sebagai akibat
dari terjadinya polarisasi kiblat budaya .[1]
Di tengah situasi yang demikian, ajaran agama semakin diabaikan;
dan jika hal ini dibiarkan, agama hanya dijadikan tempat pelarian dari absurditas hidup yang dirasakan [2]
atau agama hanya dijadikan alat legitimasi untuk kepentingan tertentu, termasuk
untuk pencapaian popularitas [3].
Selain itu, ketegangan antara budaya tradisional dan modern
mengakibatkan tergesernya yang tradisional oleh yang modern.[4]
Dunia Barat, karena dianggap sebagai yang mewakili budaya modern, akhirnya
menjadi kiblat dalam segala hal. Padahal, sebagai hasil olah-pikir manusiawi,
produk intelektual Barat tidak selamanya benar atau (setidaknya) dapat
diterapkan pada segala medan. Peradaban Barat yang sekuler telah membawa diri
mereka sendiri pada krisis lingkungan dan ketidakseimbangan psikologis. Tetapi
menariknya, hampir semua bangsa Timur, dan khususnya dunia Islam, sedang
mengulangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan Barat tersebut. Ini merupakan
sebuah tragedi.[5]
Imbas lebih jauh dari hal tersebut adalah menyangkut cara berpikir dimana
akhirnya untuk memandang tradisi dan budaya mereka sendiri, bangsa Timur harus
terperangkap pada kacamata Barat.[6]
Seperti menyindir umat Islam, Bernard Lewis membuat pernyataan
bahwa pada abad ke-20 ini memang ada yang salah pada dunia Islam. Dibandingkan
dengan rivalnya, Dunia Kristen, dunia Islam kini menjadi miskin, lemah, dan
bodoh. Sejak abad ke-19 dominasi Barat terhadap dunia Islam tampak jelas. Barat
menginvasi kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya pada aspek
publik, tetapi yang lebih menyakitkan juga dalam aspek aspek pribadi.[7]
Barat kini memang bukan hanya menghegemoni dunia Islam dalam aspek
politik, ekonomi, militer, sosial dan budaya. Globalisasi atau Westernisasi
bukan hanya berlangsung dalam aspek 3F (food, fun, fashion), seperti
disebutkan John Naisbitt, tetapi juga IT (Thought). Cara berpikir kaum
Muslim juga diatur. Bahkan, yang lebih ironi, cara kaum Muslim beriman kepada
Tuhannya, menyembah Tuhannya, juga memahami Kitab Sucinya pun tak luput dari
hegemoni.
Di zaman kolonialisme klasik, hal semacam ini tidak pernah terjadi.
Secara fisik ketika itu, penjajah memang mengeksploitasi kekayaan alam dunia
Islam, tetapi mereka tidak berani memasuki wilayah wilayah keagamaan yang
sangat personal. Di zaman itu tidak ada seorang Muslim apalagi tokoh atau
cendekiawan yang berpikir untuk mengkritik Al-Qur'an. Kini, di zaman
globalisasi, gejala mengkritik Al-Quran seperti menjadi kebanggaan, bahkan itu
terjadi di kalangan sarjana Muslim sendiri.[8]
Upaya upaya distorsi pada citra Islam yang dilakukan oleh kaum
orientalis telah memasuki ranah ilmiah,
bilamana sarjana sarjana muslim tidak berhati hati tentu akan terjebak oleh
berbagai metode yang mereka gunakan.
Sebab banyak corak dan motif dalam kajian itu. Sebagian diantara
mereka ada saja yang terus berusaha membongkar konsep-konsep dasar Al-Qur’an.
Salah satu yang menghebohkan, misalnya, kajian yang dilakukan Christoph
Luxenberg (nama samaran) yang tahun 2003 meluncurkan bukunya berjudul Die
Syro-aramaeische Lesart des Koran: in Bei-trag zur Entschluessehing der
Koransprache, (Das Arabische Buch, 2000). Buku ini banyak menarik perhatian
masyarakat Muslim, menyusul publikasinya oleh beberapa media massa. Mulanya,
Newsweek edisi 28 Juli 2003, melansir tulisan berjudul "Challanging
the Qur'an". Artikel yang ditulis Stefan Theil itu kemudian memicu
kontroversi dan akhirnya majalah itu dilarang beredar di Pakistan. Di
Indonesia, masalah ini menjadi ramai, setelah majalah GATRA
menampilkannya sebagai cover storynya pada No 37 edisi 4 Agustus 2003.[9]
Bagi kaum Muslimin, tentu, upaya untuk meruntuhkan orisinalitas
Al-Qur'an sebagai wahyu Allah, bukan barang baru. Sepeninggal Rasulullah saw.,
Musailamah al-Kazhab sudah melakukan upaya itu. Di setiap zaman, upaya itu
selalu dijawab secara elegan dan ilmiah oleh ulama dan cendekiawan Muslim, Bagi
sebagian kalangan, terutama kalangan orientalis Barat, karya Luxenberg ini di
pandang sebagai ancaman terhadap kajian Al-Qur’an. Dalam analisisnya terhadap
buku Luxenburg di Jurnal HUGOYE, Journal of 31 6 wajah Peradaban Barat
Syriac Studies, Robert R. Phenix Jr. dan Cornelia B. Horn, dari University of
St. Thomas, Summit Avenue St. Paul, mencatat implikasi metode kajian filologi
yang dilakukan Luxenberg terhadap Al-Qur'an. Menurut mereka, "Kajian ilmiah
apapun di masa mendatang tentang Qur'an penting untuk mengambil metode ini ke
dalam pertimbangan. Bahkan jika para pakar tidak setuju dengan berbagai
konklusinya, metode filologi ini kuat."[10]
Hal ini tentunya ini merupakan tantangan yang besar bagi intelektual
muslim. Dalam kerangka inilah, studi Islam yang dilakukan oleh sarjana-sarjana
Muslim, kiranya dapat dilakukan dengan satu titik tolak kesadaran, yakni
memberi pemahaman yang dapat membantu masyarakat baik di Timur maupun di Barat
untuk dapat merenungkan lebih mendalam tentang agama dan keberagamaan agar
tidak terjadinya kesalahan interpretasi dalam memahami agama islam.
Dalam studi agama memang tidak dapat dipisahkan dari aspek bahasa,
karena manusia adalah makhluk berbahasa, sementara doktrin agama dipahami,
dihayati dan disosialisasikan melalui bahasa. Salah satu pendekatan yang baya
dilakukan oleh para ilmuwan adalah philologycal approach, pendekatan filologi
merupakan kunci pembuka khazanah budaya lama yang terkandung dalam
naskah-naskah. Karena itu, menurut Charles, studi filologi haruslah diteruskan dalam studi,
karena banyak naskah yang meliputi sejarah, teologi hukum, mistik dan
lain-lainnya, belum diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dikaji oleh
negara-negara Islam.[11]
Pendekatan filologi dalam pengkajian Islam sudah dikenal cukup
lama. Pendekatan ini sangat populer bagi para pengkaji agama terutama ketika
mengkaji naskah-naskah kuno peninggalan masa lalu. Karena obyek dari pendekatan
filologi ini adalah warisan-warisan keagamaan, berupa naskah-naskah klasik
dalam bentuk manuskrip. Naskah-naskah klasik itu meliputi berbagai disiplin
ilmu; sejarah, teologi, hukum, mistisme dan lain-lainnya yang belum
diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa dan belum dimanfaatkan di negara-negara
muslim. Alat untuk mengetahui warisan-warisan intelektual Islam itu adalah
bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki dan Urdu.[12]
Pengungkapan ”nilai lama” yang terkandung di dalam naskah pada
hakikatnya merupakan tujuan filologi. Melalui penerapan teori dan
metodologinya, filologi berupaya untuk mengungkapkan nilai itu kembali, serta
kemudian melestarikan wujud fisik (naskah)nya sebagai warisan budaya.
Pendekatan filologi ini memang akan mampu mengungkap corak pemikiran
serta isi dari suatu naskah atau suatu kandungan teks untuk kemudian
ditransformasikan ke dalam bahasa konteks kekinian. Karena penekanan dalam
studi filologi terletak pada analisa bahasa dengan seluruh strukturnya. Tetapi
persoalannya menjadi lain manakah studi filologi ini diterapkan pada pengkajian
kitab suci. Dalam hal ini, Charles memberikan
ilustrasi dengan mengemukakan kajian komparasi semitik terhadap kitab
suci al-Qur’an. Asumsi awalnya, bahwa al-Qur’an itu diturunkan dengan
menggunakan bahasa yang serumpun dengan bahasa Semit, termasuk di dalamnya
kitab suci agama Yahudi, karena al-Qur’an dengan bahasa Arab yang sama serumpun
dengan bahasa Semit, maka ketika ada bahasa yang sama dengan pola struktur
bahasa sebelumnya akan dianggap sebagai pinjaman dari bahasa itu. Implikasi
lebih jauh akan berkaitan dengan tradisi yang berlaku pada suatu masyarakat.
Karena itu tidak mengherankan apabila ada asumsi bahwa sebagian bahasa
al-Qur’an merupakan pinjaman dari bahasa lain yang mencerminkan tradisi dari
bahasa sebelumnya. Inilah yang menurut Charles menjadi masalah signifikan dalam
kajian yang bersifat filologi.[13]
Oleh karena itu Generalisasi pada tingkat hipotetik ini menunjukkan
bahwa kerjasama antara para filolog dengan para cendekiawan Muslim dalam
mengembangkan keilmuan Islam memang mutlak diperlukan. Supaya penggunaan
pendekatan filologi dalam pengkajian islam tidak merusak kesucian islam dan
agar ilmuwan islam mampu menjawab berbagai kajian orientalis yang berupaya
melakukan distorsi pada citra Islam.
[1] Redi Panuju, Komunikasi Organisasi dari Konseptual-Teoretis ke Empirik. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) Hal 51-53
[3] Kamaruzzaman B Ahmad, Islam Historis: Dinamika Studi Islam
di Indonesia. (Yogyakarta:
Galang Press, 2002) hlm.177
[5] Sayyed Hossein Nasr,op.cit. hlm.21
[6] Muhammad Arkoun, op.cit. hlm.87
[7] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen Ke
Dominasi Sekular Liberal, ( Jakarta : Gema Insani Press, 2005) hlm. 288
[8] Ibid, hlm.290
[9] Ibid, hlm.315
[10] Ibid.
[11] Dr.H.M.Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas[Yogyakarta;
Pustaka Pelajar,1996], hal.41
[13] Nabilah Lubis, Naskah dan Metode Penelitian Filologi [Jakarta;
Forum Kajian Bahasa dan Sastra Arab, 1996), hal. 14-15