MANUSIA SECARA SEBAGAI OBJEK PENDIDIKAN
Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya,
yang berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata
dasar al-uns yang berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia,
karena manusia memiliki sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu
menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru di sekitarnya. Manusia cara
keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan makhluk yang
lain. Seperti dalam kenyataan makhluk yang berjalan di atas dua kaki, kemampuan
berpikir dan berpikir tersebut yang menentukan manusia hakikat manusia. Manusia
juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga berbeda dengan makhluk yang lain.
Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam setting sejarah dan setting
psikologis situasi emosional dan intelektual yang melatarbelakangi karyanya.
Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia sebagai makhluk yang
menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam pendekatan
teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang sesudahnya dengan
melengkapi sisi transendensi dikarenakan pemahaman lebih bersifat fundamental.
Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap dari pada
pengetahuan ciptaan tentang dirinya.
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam pikiran adalah
berbagai macam perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional
(animal rasional) dan pendapat ini diyakini oleh para filosof. Sedangkan yang
lain menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut
dikarenakan manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia
menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah
sebagai homo faber di mana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan
dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai makhluk yang aneh dikarenakan
di satu pihak ia merupakan “makhluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam
untuk hidup. Di pihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing
ia harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuhan-kebutuhannya. Manusia dapat
disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli
makhluk yang lain. Manusia juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut
dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah
satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang
senang bermain). Manusia dalam bermain memiliki ciri khasnya dalam suatu
kebudayaan bersifat fun. Fun disini merupakan kombinasi lucu dan menyenangkan.
Permainan dalam sejarahnya juga digunakan untuk memikat dewa dewa dan bahkan
ada suatu kebudayaan yang menganggap permainan sebagai ritus suci.[1]
Terlepas dari berbagai pandangan di atas yang harus dipahami adalah
bahwa manusia merupakan makhluk Allah yang progresif, dinamis, inovatif manusia
membutuhkan sarana untuk mengembangkan potensi dirinya secara dinamis dan berkelanjutan, karena
sejak lahir manusia telah dibekali oleh Allah SWT dengan fitrah yang suci dan
akal yang cerdas serta kebebasan untuk memilih tingkah laku yang baik dan
tepat. Tetapi bagaimanapun hebatnya
manusia, pasti mempunyai keterbatasan diri, bahkan aliran yang paling rasional
dalam Islam sendiri pun, sepeti mu’tazilah mengakui bahwa manusia mampu
menjangkau dan memilih mana yang baik dan yang buruk, namun tidak mampu untuk
mengetahui nilai baik dan buruk itu secara terinci. Akal hanya mampu menjangkau
baik dan buruk tersebut secara garis besar.
Oleh karena itu, maka manusia memerlukan bantuan dan campur tangan
pihak lain dalam rangka mengembangkan potensi yang telah dianugerahkan Allah
SWT serta mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan hidup demi kelangsungan
hidup serta dapat hidup dengan baik lebih. Dalam hal ini pendidikan merupakan
bentuk campur tangan pihak lain yang mempunyai andil yang sangat besar dalam
proses perkembangan manusia, karena pendidikan merupakan salah satu media yang
paling tepat dan mungkin untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh
manusia.
Pendidikan merupakan wahana untuk internalisasi dan transformasi
pengetahuan, budaya, keyakinan dan nilai dalam kehidupan manusia. Pendidikan
dalam konteks ini bukan hanya proses belajar mengajar di bangku sekolah dan
secara formal, melainkan melalui keseluruhan sistem yang holistik dalam relung
kehidupan manusia. Sehingga pendidikan mampu mengubah setiap jengkal dimensi
kehidupan seseorang.[2]
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah sistem yang di bangun
oleh interaksi komponen-komponen yang esensial dalam upaya mencapai tujuan
pendidikan itu sendiri, baik dalam pendidikan formal ataupun nonformal.
Perpaduan antara keharmonisan dan keseimbangan serta interaksi unsur esensial
pendidikan, pada tahap operasional sangat menentukan keberhasilan pendidikan.
Masing-masing komponen mempunyai fungsi tertentu dan secara bersama-sama
melaksanakan fungsi struktur, yaitu mencapai tujuan sistem.
Diantara komponen yang selalu terkait dan saling membutuhkan satu
sama lain adalah pendidik yang fungsi utamanya sebagai subjek pendidikan dan
peserta didik objeknya. Keduanya merupakan unsur paling vital di dalam proses
pendidikan. Sebab seluruh proses, aktivitas orientasi serta relasi-relasi lain
yang terjalin untuk menyelenggarakan pendidikan selalu melibatkan keberadaan
pendidik dan peserta didik sebagai aktor pelaksana. Hal itu sudah menjadi
syarat mutlak atas terselenggaranya suatu kegiatan pendidikan. Dengan
mendasarkan pada pengertian bahwa pendidikan berarti usaha sadar dari pendidik
yang bertujuan untuk mengembangkan kualitas peserta didik, terkandung suatu
makna bahwa proses yang dinamakan pendidikan itu tidak akan pernah berlangsung
apabila tidak hadir pendidik dan peserta didik dalam rangkaian kegiatan
pendidikan. Sehingga bisa dikatakan bahwa pendidik dan peserta didik merupakan
pilar utama terselenggaranya aktivitas pendidikan.
Pendidik dan peserta didik merupakan dua jenis posisi/status yang
dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah
aktivitas yang terbingkai dalam dunia pendidikan. Masing-masing posisi yang
melekat pada kedua pihak tersebut mewajibkan kepada mereka untuk memainkan
seperangkat peran berbeda sesuai dengan konstruksi struktural lingkungan
pendidikan atau pelatihan yang menjadi wadah kegiatan mereka
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa hubungan pendidik dengan
peserta didik tidak hanya dikemas dalam bahasa profesional tetapi juga dalam
konteks kultural. Dengan demikian dapat dipahami bahwa interaksi edukatif
adalah hubungan dua arah antara pendidik dan Peserta didik dengan sejumlah
norma nilai sosio cultural sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan
Dalam Al-quran banyak ayat ayat yang menjelaskan bagaimana
kedudukan manusia sebagi subjek ataupun objek pendidikan. Namun akan di bahas
dalam makalah ini adalah kedudukan manusia sebagai objek pendidikan.
Objek
pendidikan dalam Al-Qur’an setidak-tidaknya dapat dilihat dalam beberapa ayat
sebagai berikut: Surat An-Nisa’: 170, surat At-Tahrim: 6, surat Asy-Syu’ara’:
214-216 dan surat Nuh: 1-4.
No comments:
Post a Comment