Arus globalisasi saat ini menimbulkan banyak sekali
perubahan dari segala aspek kehidupan manusia. Perubahan ini tidak dapat
dihindari karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Menghadapi
pesatnya persaingan di era global ini, Tuntutan akan sumber daya manusia yang
unggul merupakan kebutuhan umat manusia di seluruh belahan dunia. Menjelang
diberlakukannya liberalisasi di segala bidang dewasa ini, tuntutan tersebut
sangatlah mendesak. Pendidikan berperan sebagai gerbang utama untuk memenuhi
semua tuntutan itu, semua pihak perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk
mengedepankan peningkatan mutu pendidikan, baik pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang
pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun
meningkatkan prestasi yang telah diraih. Sering kali potensi seseorang itu
diukur melalui pendidikannya, sebagai salah satu elemen terpenting dalam
penyelenggaraan pendidikan, pendidik (guru) menjadi sosok yang paling
diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai
terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan
pendidikan di sekolah yang lebih baik”
Kehadiran guru dalam proses belajar mengajar atau pengajaran masih tetap memegang peranan penting. Peranan guru dalam proses pengajaran belum dapat digantikan oleh mesin radio, tape recorder ataupun komputer yang paling modern sekalipun. Karena masih banyak unsur manusiawinya seperti sikap, sistem nilai, perasaan, motivasi, kebiasaan dan lain-lain yang diharapkan merupakan hasil dari proses pengajaran, tidak dapat dicapai melalui alat-alat atau teknologi yang diciptakan manusia untuk membantu dan mempermudah kehidupannya.[1] Sehingga faktor guru perlu mendapat perhatian yang pertama dan utama di samping kurikulumnya, karena baik buruknya suatu kurikulum pada akhirnya tergantung pada aktivitas dan kreativitas guru dalam menjabarkan dan merealisasikan kurikulum tersebut.[2]
Sejatinya, guru adalah bagian integral dari organisasi
pendidikan di sekolah secara menyeluruh. Agar sebuah organisasi termasuk
organisasi pendidikan di sekolah mampu
menghadapi perubahan dan ketidakpastian yang menjadi ciri kehidupan modern, Peter
Senge (2000) mengingatkan perlunya mengembangkan sekolah sebagai sebuah
organisasi pembelajar. Di antara karakter utama organisasi pembelajar adalah
senantiasa mencermati perubahan internal dan eksternal yang diikuti dengan
upaya penyesuaian diri dalam rangka mempertahankan eksistensinya.[3]
Syarat mutlak terciptanya organisasi
pembelajar adalah terwujudnya masyarakat pembelajar di tubuh organisasi
tersebut. Ini dapat dengan mudah dipahami mengingat kinerja organisasi secara
tidak langsung adalah produk kinerja kolektif semua unsurnya termasuk Sumber
Daya Manusia. Oleh sebab itu, dalam konteks sekolah, guru secara individu
maupun secara bersama‐sama dengan masyarakat
seprofesinya harus didorong untuk menjadi bagian dari organisasi pembelajar
melalui keterlibatannya secara sadar dan sukarela serta terus menerus dalam
berbagai kegiatan belajar guna mengembangkan profesionalismenya.
Namun, seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta perubahan sosio-kultural yang terkadang sulit
diprediksi, profesi guru terkadang dihadapkan pada dilema yang kompleks. Di
satu sisi, masyarakat pengguna jasa pendidikan menuntut akan kualitas layanan
jasa pendidikan secara lebih baik, tetapi di pihak lain para penyandang profesi
kependidikan dihadapkan pada berbagai keterbatasan. Bahkan secara individual
mereka dihadapkan pula pada suatu realitas bahwa kesejahteraannya perlu
mendapat perhatian khusus. Imbalan jasa kependidikan yang kurang sesuai menurut
ukuran kebutuhan hidup realistis masih menjadi topik diskusi keseharian
masyarakat. Padahal masyarakat yakin betul bahwa kelangsungan hidup bangsa ini
akan sangat ditentukan oleh keberhasilan proses sistem pendidikan.
Profesi guru bertahun-tahun mengalami
degradasi kualitas dan citra. Minimnya penghargaan terhadap guru membuat
siswa-siswa tidak banyak tertarik menjadi guru. Siswa-siswi yang berprestasi
cenderung memilih jurusan populer yang menjanjikan seperti: teknik, kedokteran,
hukum, atau ekonomi. Profil guru jauh dari sejahtera. Sesuai seperti digambarkan oleh Iwan Fals dalam lagu
"Umar Bakri"-nya. Dengan gaji kecil, seorang guru terbiasa bergelut
dengan waktu mengajar dari satu sekolah ke sekolah lain. Jadi, Adalah lumrah
bila seorang guru kerja sampingan sebagai tukang ojek, menjadi supir, atau
menjadi juru parkir. Karena beban kebutuhan hidup tinggi, guru pun banyak
menyekolahkan SK-nya. Dalam kondisi ini memaksa guru mencari tambahan dengan
memberikan les di sekolah dan menjual buku pelajaran. Sebagai kepanjangan
tangan pihak penerbit, buku dijual dengan nuansa pemaksaan dan ancaman kepada
siswa demi meraih target tertentu, menjadikan guru "bulan-bulanan'
kegundahan masyarakat.
Kemudian di lain pihak, kondisi faktual di
lapangan, profesi guru banyak dijadikan dermaga alternatif bagi mereka dalam
tahap menunggu atau gagal mendapatkan pekerjaan yang layak di tempat lain.
Seseorang begitu mudahnya menjadi guru, meskipun tanpa bekal ilmu keguruan yang
memadai. Akibatnya ada oknum guru diberitakan terlibat dalam kekerasan, minuman
keras, narkoba atau tersangkut perbuatan asusila.[4]
Lahirnya Undang-Undang Guru dan Dosen
merupakan babak baru sekaligus momentum untuk mengangkat harkat dan martabat
guru. Sebagai pekerjaan profesi, guru harus melalui sejumlah persyaratan
pendidikan dan pelatihan profesi ilmu keguruan yang panjang sehingga
mendapatkan kewenangan profesional sebagai guru. Profesi guru ke depan tidak
lagi asal-asalan, tapi menuntut sejumlah kompetensi meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Seorang
guru harus mencurahkan jiwanya, memiliki kecintaan akan profesinya dan
dicerminkan dari penampilan, dedikasi, pengabdian dan tanggung jawab sebagai
guru.
Penjelasan di atas merupakan permasalahan yang sesungguhnya akan terasa
amat sulit jika dihadapi secara individual. Artinya, kalangan profesional
kependidikan dipandang perlu untuk membentuk suatu organisasi profesi dan masuk
di dalamnya sebagai anggota. Melalui fungsi pemersatu organisasi ini,
penyandang profesi kependidikan memiliki kekuatan dan kekuasaan dalam
menjalankan tugas keprofesiannya. Bukan hanya itu, suatu organisasi
kependidikan berupaya meningkatkan dan mengembangkan karier, kemampuan,
kewenangan profesional, martabat, dan kesejahteraan tenaga kependidikan.
Organisasi profesi diharapkan menjadi
jembatan komunikasi yang menampung aspirasi, memelihara citra, mengembangkan
profesionalisme guru dan wadah perjuangan guru mendapatkan segala haknya.
Dengan adanya organisasi profesi, setiap
anggota mendapat perlindungan dalam mewujudkan profesionalitasnya secara
terarah dan efektif dalam suasana aman dan kondusif. Bergabungnya guru dalam
wadah organisasi profesi merupakan wujud terpenuhinya persyaratan sebagai pemangku
profesi jabatan guru sehingga guru mendapatkan jaminan untuk berkinerja secara
optimal. Organisasi profesi dibekali kode etik sebagai standar ideal dijadikan
rujukan guru dalam berperilaku sesuai dengan perkembangan masyarakat untuk
dipenuhi anggotanya serta dipertanggungjawabkan kembali kepada masyarakat.
[1] Nana
Sudjana, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, cet.4, (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 1998), hlm. 12.
[2] Mulyasa. E, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan
Implementasi, (Bandung :
Rosda Karya, 2002), hlm. 147.
[3] Kementerian
pendidikan nasional Direktorat jenderal peningkatan mutu Pendidik dan tenaga
kependidikan
2010.
Pembinaan Dan Pengembangan Profesi Guru Buku pedoman pengelolaan Pengembangan keprofesian
berkelanjutan. www.bermutuprofesi.org
No comments:
Post a Comment